Jingga matahari ketika ia digantikan malam selalu membuatku merasa pulang.
Rumahku adalah bulan. Tempat aku bermain bersama bintang-bintang yang selalu ada walau tak lagi terlihat. Usia bintang dan usiaku berpaut milyaran tahun cahaya. Di kota ini memang aku jarang berbincang dengan mereka. Namun dalam beberapa kesempatan ketika aku dapat menemui mereka, aku selalu mengambil foto bersama sebagai kenangan kami dan titipan salam untuk sahabat-sahabatku yang belum sempat bertemu mereka lagi. Kebanyakan memang aku yang mengambil foto mereka. Ketika kami bersama aku selalu merasa rendah diri dan tak bisa bersaing dengan binar mereka.
Rumahku adalah malam. Jingga matahari yang terkadang hanya sempat terlihat lewat secangkir kopi. Sambil memandangi matahari terkadang aku bertanya. Siapakah yang baru saja terbangun dan memulai harinya. Entah diiringi dengan terbitnya matahari yang baru saja pergi dari langit yang menaungi kotaku. Atau mereka yang bekerja bersama megahnya malam.
Aku selalu disambut rumahku. Rumahku selalu memancarkan cahaya hangat. Walaupun terkadang tak jarang cuaca menjadi terlalu panas sehingga kehangatan tersebut membuatku berkeringat dan menjadi lelah, apalagi dengan isu global warming yang terjadi dalam beberapa tahun belakangan ini. Namun kehangatan itu selalu ada. Sama seperti matahari. Orang bilang ia abadi. Padahal menurut ilmuwan, partikel matahari selalu berkurang setiap detiknya bahkan dalam sepermikron detik selalu ada yang hilang dari matahari. Tapi kedudukannya tak pernah berubah dan ia akan selalu memberi sampai habis tak bersisa. Sampai entah berapa exasecond tahun lagi, berapa juta generasi berlalu, Matahari selalu berdiam di sana. Bersama bintang-bintang. Bersama sahabat-sahabatku.
exasecond : kira-kira 32 miliar tahun